Jumat, 24 Agustus 2012

Sahabat di tangan Tuhan


Sahabat di tangan Tuhan
(Melirik rindu – rindunya mereka dari balik sebuah jejaring sosial)

Aku sadar, dulunya ia pernah menjadi kekasihku meski hanya sementara waktu. Sesaat yang tentu manis untukku. Atau mungkin ia lebih tahu bahwa aku hanyalah lelaki tak berperasaan. Biarlah pegangan prinsip itu membeku dihatinya saat kita sudah lebih dahulu mengawali cerita persahabatan. Janu namamu, kita berkenalan saat dibangku kuliah di sebuah universitas tersohor di kota Yogyakarta. Sikap tenangmu, mengajak aku terpanggil mendekat dan menjadi sebuah cerita persahabatan. Pongahnya kita berpendapat tentang apapun pada orang lain. Seolah – olah kita yang paling benar, dan paling merasa bisa. Tapi kini, aku bersahabat dengan sepi. Meski jujurku tak pernah menganggap cinta segitiga diantara kita, karena aku sudah melepasnya tanpa bertanggung jawab. Dan kau lebih mampu menampung perihnya dalam air mata. Tapi kita pun tak pernah saling berkeras tentangnya yang sudah mencintai kita sebagai dua laki – laki dalam hidupnya. Mungkin hanya karena waktu, aku yang pertama dan kau sebagai sosok yang mampu melanjutkan bahagianya ketika disisimu. Tak sedikit yang membenci kita, dan kita meluluhkan dalam duet melawan perdebatan apapun saat harus berinteraksi dengan mereka sebagai teman sekelas dikampus.
Kini, kau telah tenang dalam pelukNya sebagai Tuhan yang Esa. Aku tak lagi mampu menjangkaumu ketika butuh, aku tak lagi sekedar bercakap – cakap yang ringan denganmu. Sahabatku, aku telah memiliki jalan sendiri dan kau sudah menemukan jalan yang lebih baik disisiNya. Masih teringat saat tanganku menggapai kulit wajahmu yang sudah kaku tak bernyawa. Disitu, aku hanya menangis dalam doa. Dan disaat itu juga aku merasa kehilanganmu selamanya. Tak ada tangis yang bisa kuterjemahkan ke dalam kata – kata seperti pidato orang besar diatas podium. Hampir empat tahun berjalan dalam masa – masa cerita tanpamu disini. Kota yang selalu membuatku kembali lagi dan lagi dalam dinginnya pesona malam kota Yogyakarta. Hanya ada kenangan bersama saja yang kujabat erat.

Ia pergi
Ia meninggalkanku dengan pesan
Ia meninggalkanku dengan cara berbeda
Ia pergi hanya karena sudah mengerti nasib
Ia pergi karena tak mampu menjalin penatnya dunia
Dan saat ia pergi, kami disini masih merindukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar