Sahabat di tangan Tuhan
(Melirik rindu –
rindunya mereka dari balik sebuah jejaring sosial)
Aku
sadar, dulunya ia pernah menjadi kekasihku meski hanya sementara waktu. Sesaat yang
tentu manis untukku. Atau mungkin ia lebih tahu bahwa aku hanyalah lelaki tak
berperasaan. Biarlah pegangan prinsip itu membeku dihatinya saat kita sudah
lebih dahulu mengawali cerita persahabatan. Janu namamu, kita berkenalan saat
dibangku kuliah di sebuah universitas tersohor di kota Yogyakarta. Sikap tenangmu,
mengajak aku terpanggil mendekat dan menjadi sebuah cerita persahabatan. Pongahnya
kita berpendapat tentang apapun pada orang lain. Seolah – olah kita yang paling
benar, dan paling merasa bisa. Tapi kini, aku bersahabat dengan sepi. Meski jujurku
tak pernah menganggap cinta segitiga diantara kita, karena aku sudah melepasnya
tanpa bertanggung jawab. Dan kau lebih mampu menampung perihnya dalam air mata.
Tapi kita pun tak pernah saling berkeras tentangnya yang sudah mencintai kita
sebagai dua laki – laki dalam hidupnya. Mungkin hanya karena waktu, aku yang
pertama dan kau sebagai sosok yang mampu melanjutkan bahagianya ketika
disisimu. Tak sedikit yang membenci kita, dan kita meluluhkan dalam duet
melawan perdebatan apapun saat harus berinteraksi dengan mereka sebagai teman
sekelas dikampus.
Kini,
kau telah tenang dalam pelukNya sebagai Tuhan yang Esa. Aku tak lagi mampu
menjangkaumu ketika butuh, aku tak lagi sekedar bercakap – cakap yang ringan
denganmu. Sahabatku, aku telah memiliki jalan sendiri dan kau sudah menemukan
jalan yang lebih baik disisiNya. Masih teringat saat tanganku menggapai kulit
wajahmu yang sudah kaku tak bernyawa. Disitu, aku hanya menangis dalam doa. Dan
disaat itu juga aku merasa kehilanganmu selamanya. Tak ada tangis yang bisa
kuterjemahkan ke dalam kata – kata seperti pidato orang besar diatas podium. Hampir
empat tahun berjalan dalam masa – masa cerita tanpamu disini. Kota yang selalu
membuatku kembali lagi dan lagi dalam dinginnya pesona malam kota Yogyakarta. Hanya
ada kenangan bersama saja yang kujabat erat.
Ia
pergi
Ia meninggalkanku
dengan pesan
Ia meninggalkanku
dengan cara berbeda
Ia pergi hanya karena
sudah mengerti nasib
Ia pergi karena tak
mampu menjalin penatnya dunia
Dan saat ia pergi, kami
disini masih merindukan