Andaikan
Kelebat
bayangnya datang, menggelora dalam ruang hampa yang sudah ku huni beberapa
minggu ini. Namun bukan hanya itu cerita dalam diri ini, ada yang lain terbesit
dalam semangat kecil meski nantinya tak bersanding. “Apa kabar dirimu nak
disana?” mungkin ini tanyaku dalam hati ketika ia sudah terlahir ke dunia tanpa
disatukan oleh aku sebagai ayah kandungnya. Perpisahan dengan ia sebagai ibumu
adalah hitam yang berkabut tanpa henti – hentinya tertatih. Mungkin saja
tanyamu sebagai anak menanti sosok ayah kandungmu tak berhenti. Saat ini aku
sedang berkompromi dengan masa depan yang tidak tahu pasti kebenarannya. Tuhan
punya cara kerja yang berbeda, bahasanya pun tak pernah tersentuh hanya dengan
dugaan semata. Semoga saja kita seperti melihat keindahan dibalik keindahan,
seperti rahasia dibalik rahasia. Dan aku pasti saja aku bersyukur atas
kehadirannya sebagai manusia baru tanpa dosa, namun kelaknya akan terbebani
oleh sebuah pertanyaan yang entah bagaimana ia jawab untuk dirinya sendiri.
“Maafkan
ayahmu, jika kita tak bisa bersama”
Ujarku
ini yang selalu menghadirkan tangis dalam doa – doa kecil untuk Tuhan yang Esa,
pencipta alam semesta. Mungkin, barulah kau sadar arti kesungguhan aku yang tak
bisa bersamamu hanya karena sebab lalu menuai akibat. Aku hanya memohon agar
kelak kau tak menganggap ini sebuah aib yang harus disimpan, yang harus kau
sembunyikan sebagai alasan – alasan kotor. Aku mungkin hanya mampu mengasihimu
dari kejauhan setelah 3 bulan umurmu didalam kandungan dan sudah terpisahkan
oleh pahitnya kisah sadis itu. Bukan aku menyerah, aku pun harus mengalah hanya
untuk menenangkan ia sebagai ibumu yang diberi beban tekanan moral oleh mereka
yang tak lain sebagai kakek dan nenekmu. Mungkin aku tak berhak memberi rasa
yang kosong saat tidak di dekatmu dan ibumu. Jarum jam yang berjalan membuatku
seperti harus berjalan melewati jalan berduri. Aku sakit diantara orang sakit,
aku kecewa dan lebih kecewa dari orang tua yang kecewa. Saat itu, aku tak mampu
meraih kekuatan dari ibumu yang sedang gelisah menentukan pilihannya untuk
siapa. Meski kecewa ini masih tersimpan, tapi tak guna aku renungkan kembali
bila tak bisa bersama. Yang mampu aku katakan adalah, nafas ini hanya menghela
untukmu dan ibumu yang masih ku damba disamping saat ini. Tapi, kelak kuatku
ini hanya bisa senyum dalam kepura – puraan saat semua kesalahan dilontarkan
pada diriku. Lebih baik aku disalahkan daripada kau yang menderita, lebih baik
aku dianggap tak becus daripada kau yang menangis. Wahai anakku kelak, masa
depan adalah milikmu sendiri.
Aku
berpesan untuk tidak menjatuhkanmu dalam derita pikiran orang lain. Biarkan mereka
berceloteh dengan bayangnya sendiri, dan ku harap pergi saja kau dari lubang
itu. Aku hanya tak ingin kau sebagai anak yang sepi tanpaku harus
menanggungnya. Turutilah kata hati, karena hati tak bisa di eja maksud dan
tujuannya. Semoga Tuhan kelak mengajarimu jalan – jalan yang bijak. Kita tak
harus lama berlarut dalam sebuah drama dilema, semua hanyalah bias air yang
fana. Doaku, untukmu selalu. Aku ayahmu, tak bersatu juga tentang ayahmu dan
mati juga tetap ayahmu. Maafkan semua kesalahanku yang mungkin tak sepenuhnya
disebabkan oleh diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar