Jumat, 24 Agustus 2012

Andaikan


Andaikan
Kelebat bayangnya datang, menggelora dalam ruang hampa yang sudah ku huni beberapa minggu ini. Namun bukan hanya itu cerita dalam diri ini, ada yang lain terbesit dalam semangat kecil meski nantinya tak bersanding. “Apa kabar dirimu nak disana?” mungkin ini tanyaku dalam hati ketika ia sudah terlahir ke dunia tanpa disatukan oleh aku sebagai ayah kandungnya. Perpisahan dengan ia sebagai ibumu adalah hitam yang berkabut tanpa henti – hentinya tertatih. Mungkin saja tanyamu sebagai anak menanti sosok ayah kandungmu tak berhenti. Saat ini aku sedang berkompromi dengan masa depan yang tidak tahu pasti kebenarannya. Tuhan punya cara kerja yang berbeda, bahasanya pun tak pernah tersentuh hanya dengan dugaan semata. Semoga saja kita seperti melihat keindahan dibalik keindahan, seperti rahasia dibalik rahasia. Dan aku pasti saja aku bersyukur atas kehadirannya sebagai manusia baru tanpa dosa, namun kelaknya akan terbebani oleh sebuah pertanyaan yang entah bagaimana ia jawab untuk dirinya sendiri.
“Maafkan ayahmu, jika kita tak bisa bersama”
Ujarku ini yang selalu menghadirkan tangis dalam doa – doa kecil untuk Tuhan yang Esa, pencipta alam semesta. Mungkin, barulah kau sadar arti kesungguhan aku yang tak bisa bersamamu hanya karena sebab lalu menuai akibat. Aku hanya memohon agar kelak kau tak menganggap ini sebuah aib yang harus disimpan, yang harus kau sembunyikan sebagai alasan – alasan kotor. Aku mungkin hanya mampu mengasihimu dari kejauhan setelah 3 bulan umurmu didalam kandungan dan sudah terpisahkan oleh pahitnya kisah sadis itu. Bukan aku menyerah, aku pun harus mengalah hanya untuk menenangkan ia sebagai ibumu yang diberi beban tekanan moral oleh mereka yang tak lain sebagai kakek dan nenekmu. Mungkin aku tak berhak memberi rasa yang kosong saat tidak di dekatmu dan ibumu. Jarum jam yang berjalan membuatku seperti harus berjalan melewati jalan berduri. Aku sakit diantara orang sakit, aku kecewa dan lebih kecewa dari orang tua yang kecewa. Saat itu, aku tak mampu meraih kekuatan dari ibumu yang sedang gelisah menentukan pilihannya untuk siapa. Meski kecewa ini masih tersimpan, tapi tak guna aku renungkan kembali bila tak bisa bersama. Yang mampu aku katakan adalah, nafas ini hanya menghela untukmu dan ibumu yang masih ku damba disamping saat ini. Tapi, kelak kuatku ini hanya bisa senyum dalam kepura – puraan saat semua kesalahan dilontarkan pada diriku. Lebih baik aku disalahkan daripada kau yang menderita, lebih baik aku dianggap tak becus daripada kau yang menangis. Wahai anakku kelak, masa depan adalah milikmu sendiri.
Aku berpesan untuk tidak menjatuhkanmu dalam derita pikiran orang lain. Biarkan mereka berceloteh dengan bayangnya sendiri, dan ku harap pergi saja kau dari lubang itu. Aku hanya tak ingin kau sebagai anak yang sepi tanpaku harus menanggungnya. Turutilah kata hati, karena hati tak bisa di eja maksud dan tujuannya. Semoga Tuhan kelak mengajarimu jalan – jalan yang bijak. Kita tak harus lama berlarut dalam sebuah drama dilema, semua hanyalah bias air yang fana. Doaku, untukmu selalu. Aku ayahmu, tak bersatu juga tentang ayahmu dan mati juga tetap ayahmu. Maafkan semua kesalahanku yang mungkin tak sepenuhnya disebabkan oleh diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar