Ditemani api dan waktu
dalam kayu
Malamku
terurai ditemani api dan waktu dalam kayu. Jenuhku hanya pada malam,
mengembangkan pikiran lewat imajinasi dan memandang kayu yang terbakar lewat
api saat ku nyalakan. Malam itu sukar kutebak, apakah dia disana bersama
kenangan yang pernah kami bangun atau
hanya duduk terdiam melintasi detik – detik yang telah disediakan orang tuanya.
Meskipun dulunya kami berseri ria saat bersama, ceria dalam cerita – cerita
menarik di dalam kamar. Tak ada satupun yang berani datang mengusik intimnya
kami berdua. Perumpamaan masa depan saling kami jalin dalam sebuah angan yang
tak lepas dari kasih sayang. Kasih sayang yang hingga kini masih ku bina walau
hanya sebagai ranting yang nyaris patah terinjak kaki- kaki melangkah. Malamku,
tak terhingga mampu membiaskan bayang – bayang itu menjadi nyata hadir ditempat
aku terduduk melamun. Hampir tak ada cacat dalam bayang itu, aku pun menyatu
dan bersinergi dengan lamunan api yang kian menghitamkan kayu – kayu itu
menjadi kering. Sama halnya seperti saat aku harus memikirkannya di malam –
malam kesepian, semakin aku menghadirkan bayang itu semakin aku terbakar dalam
luka. Merah membara tanpa ada keselarasan dalam hidupku.
Disekelilingku
hanya berteman suara malam yang hendak menghampiriku dengan ketakutannya. Waktu
dalam kayu sudah menunjukkan bulir – bulir embun yang memaksanya untuk basah. Kelembaban
yang merasuk keringnya kayu dalam bakaran api mulai terjamah. Meredupkan apinya
perlahan, menciutkan merahnya kecil bertahap. Aku gusar, tanda – tanda ini
seperti menahanku dalam kurungan sepi. Bak kurungan besar tanpa hadir sosok
untuk menemaniku dan jauh hanya mendengarkan gema – gema suara itu. “Kini kau,
harus ku gambarkan lewat apa lagi?” ujarku yang sepi dan terus memanggil bayang
– bayangnya yang kian sirna meski sudah kubelalakkan semuanya dengan pasrah. Jari – jari dikakiku, terbeku lemah
meski sudah terbungkus lapisan pelindung. Hangatnya tak lagi terasa ditiap
ujung jari – jari kaki. Tanda tanya yang kuhadirkan di malam itu masih belum
sepenuhnya terjawab dengan tegak. Menelan semua lirih yang hinggap disebuah
tempat yang tidak aku kenali. Tenggorokan ini, mulai kering perih saat udara
masuk kedalam rongganya. Api pun tak bersikap, dan padam ditelan waktu
bertemankan embun sebagai pelembab ricuhnya imajinasiku. Asapnya membau
menyengat ke hidung nafas ini, seakan paham aku hendak bagaimana selanjutnya.
Meliuk – liukkan putih keabuan, asap itu pergi bersama angin menyampaikan
sirnanya hangat yang sudah padam. Tak ada kembali hadir penyangga beban ini.
Bebanku, deritaku, lukaku dalam sebuah hutan tak bertuan. Dan tak ada yang
menyapa, meski bayangnya masih samar hadir disampingku. Merah menyala tak lagi
bersemangat, hitam yang hadir menyerukan suara – suara jeritan luka. Dan kelak
pada malamku, mungkin masih akan hadir seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar