Jumat, 24 Agustus 2012

Ditemani api dan waktu dalam kayu


Ditemani api dan waktu dalam kayu
Malamku terurai ditemani api dan waktu dalam kayu. Jenuhku hanya pada malam, mengembangkan pikiran lewat imajinasi dan memandang kayu yang terbakar lewat api saat ku nyalakan. Malam itu sukar kutebak, apakah dia disana bersama kenangan yang pernah kami bangun  atau hanya duduk terdiam melintasi detik – detik yang telah disediakan orang tuanya. Meskipun dulunya kami berseri ria saat bersama, ceria dalam cerita – cerita menarik di dalam kamar. Tak ada satupun yang berani datang mengusik intimnya kami berdua. Perumpamaan masa depan saling kami jalin dalam sebuah angan yang tak lepas dari kasih sayang. Kasih sayang yang hingga kini masih ku bina walau hanya sebagai ranting yang nyaris patah terinjak kaki- kaki melangkah. Malamku, tak terhingga mampu membiaskan bayang – bayang itu menjadi nyata hadir ditempat aku terduduk melamun. Hampir tak ada cacat dalam bayang itu, aku pun menyatu dan bersinergi dengan lamunan api yang kian menghitamkan kayu – kayu itu menjadi kering. Sama halnya seperti saat aku harus memikirkannya di malam – malam kesepian, semakin aku menghadirkan bayang itu semakin aku terbakar dalam luka. Merah membara tanpa ada keselarasan dalam hidupku.
Disekelilingku hanya berteman suara malam yang hendak menghampiriku dengan ketakutannya. Waktu dalam kayu sudah menunjukkan bulir – bulir embun yang memaksanya untuk basah. Kelembaban yang merasuk keringnya kayu dalam bakaran api mulai terjamah. Meredupkan apinya perlahan, menciutkan merahnya kecil bertahap. Aku gusar, tanda – tanda ini seperti menahanku dalam kurungan sepi. Bak kurungan besar tanpa hadir sosok untuk menemaniku dan jauh hanya mendengarkan gema – gema suara itu. “Kini kau, harus ku gambarkan lewat apa lagi?” ujarku yang sepi dan terus memanggil bayang – bayangnya yang kian sirna meski sudah kubelalakkan semuanya dengan  pasrah. Jari – jari dikakiku, terbeku lemah meski sudah terbungkus lapisan pelindung. Hangatnya tak lagi terasa ditiap ujung jari – jari kaki. Tanda tanya yang kuhadirkan di malam itu masih belum sepenuhnya terjawab dengan tegak. Menelan semua lirih yang hinggap disebuah tempat yang tidak aku kenali. Tenggorokan ini, mulai kering perih saat udara masuk kedalam rongganya. Api pun tak bersikap, dan padam ditelan waktu bertemankan embun sebagai pelembab ricuhnya imajinasiku. Asapnya membau menyengat ke hidung nafas ini, seakan paham aku hendak bagaimana selanjutnya. Meliuk – liukkan putih keabuan, asap itu pergi bersama angin menyampaikan sirnanya hangat yang sudah padam. Tak ada kembali hadir penyangga beban ini. Bebanku, deritaku, lukaku dalam sebuah hutan tak bertuan. Dan tak ada yang menyapa, meski bayangnya masih samar hadir disampingku. Merah menyala tak lagi bersemangat, hitam yang hadir menyerukan suara – suara jeritan luka. Dan kelak pada malamku, mungkin masih akan hadir seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar